RSS

"Apakah Anda Pernah Melihat Blue Film?"

Pertanyaan di atas sekaligus judul posting kali ini pernah diajukan oleh Pak Fahmi, seorang dosen Kewarganegaraan, Agama Islam, dan Sastra Arab, saat semester pertama. Beliau mengajukan pertanyaan tersebut kepada seluruh mahasiswa yang saat itu menghadiri kelasnya tanpa memandang dia seorang laki-laki maupun perempuan. Tentu saja para perempuan menggelengkan kepala dan menjawab "tidak!" sambil memendam rasa herannya atas pertanyaan yang diajukan beliau. Sementara itu, para lelaki, satu per satu mengangguk dan menjawab "pernah" dengan senyum kecut dan menahan malu. Seingatku, tidak ada laki-laki yang menjawab "tidak, saya tidak pernah melihat!". Semua juga tahu bahwa itu adalah perbuatan (semoga tidak menjadi kebiasaan) yang salah, baik dilihat dari norma kesusilaan maupun keagamaan. Meskipun tahu itu adalah salah, entah kenapa para lelaki sangat mudah terpengaruh untuk melihat 'film layar biru' dan juga gambar-gambar terlarang yang masuk kategori 'layar biru'. Aku tidak memungkirinya karena aku pun seorang laki-laki dan pernah melihat hal seperti itu.

Setelah beres dengan pertanyaan yang cukup membuat malu tersebut, beliau memberikan pertanyaan kedua. "Mengapa Anda melihat 'blue film' itu padahal tahu itu adalah salah?". Pertanyaan kedua ini sulit sekali dijawab. Memang kebiasaan beliau suka memberikan pertanyaan sulit seperti itu yang ternyata jawabannya sangat mudah dipahami. Kemudian beliau menjawab sekaligus memberikan penjelasan yang sangat mudah dipahami.
"Anda senang melihat 'blue film' karena tidak mengenal siapa yang 'bermain' di dalamnya. Coba bayangkan yang 'main' di film tersebut adalah orang-orang terdekat Anda. Bayangkan yang 'bermain' di film tersebut adalah ibu Anda, kakak Anda, adik Anda, saudara-saudari Anda, dan teman-teman Anda. Pasti Anda, jika akalnya masih berjalan dengan baik, akan merasa tidak senang bahkan prihatin mengetahui orang-orang terdekat Anda 'bermain' di dalamnya karena tahu perbuatan itu buruk, salah dan tidak ingin keburukan tersebut menimpa mereka."
Penjelasan Pak Fahmi saat itu sudah aku buktikan malam ini saat blogwalking. Perhatianku tertuju pada sebuah blog salah satu teman perempuan saat SMA dulu. Memang temanku itu memiliki fisik yang menarik dan berbakat menjadi model. Saat aku melihat blognya, ada beberapa foto dengan modelnya adalah dia. Awalnya aku biasa saja melihatnya karena foto-foto tersebut tidak ada bedanya dengan foto model lainnya yang biasa aku lihat. Setelah menggerakkan scroll untuk melihat lebih banyak isi blog itu, aku dikagetkan oleh sebuah foto dia dengan busana yang sangat minim. Dia hanya mengenakan (maaf) bra dan celana dalam di sebuah studio foto, lalu menjadi model untuk difoto! Aku rasa tidak ada di antara teman perempuanku yang mau menjadi model foto dalam keadaan minim busana begitu dan mengunggahnya di blog yang notabene dilihat oleh publik. Memang foto tersebut belum sampai pada tingkat 'blue film', tapi menurutku tidak sepantasnya dia berfoto dengan busana minim seperti itu. Adakah orang tua yang mau anak perempuannya difoto dengan busana seperti itu di sebuah studio foto?

Aku mengakui dan tidak memungkiri bahwa aku pun pernah melihat 'blue film', baik gambar maupun videonya. Saat melihat 'blue film' yang diperankan oleh orang yang tidak aku kenal, tidak ada perasaan kaget atau prihatin. Yang ada hanyalah perasaan terpuaskannya hawa nafsu. Sementara itu, baru melihat foto seorang teman perempuan dengan busana minim seperti itu, muncul perasaan kaget dan prihatin. "Kok dia mau menjadi model dengan busana minim begitu?". Kira-kira begitulah pertanyaan yang terlintas di kepalaku pertama kali melihat foto tersebut.

Mungkin bagi sebagian orang, pemikiranku kaku dan kolot. Sekarang adalah zamannya kebebasan berekspresi, entah bagaimana batasannya aku pun tidak tahu karena terlalu banyak standar yang digunakan manusia. Bagi masyarakat yang kehidupannya lebih liberal dan menjunjung tinggi HAM seperti masyarakat Barat, pose foto dengan busana minim seperti itu biasa saja dan dapat dimaklumi sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Seiring dengan kemajuan teknologi, pengaruh-pengaruh luar yang negatif seperti itu masuk juga ke dalam kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai, norma, dan adat yang sifatnya memaksa dan mengikat seperti masyarakat Timur. Pengaruh-pengaruh tersebut awalnya terlihat asing dan aneh. Namun lama-kelamaan, kita terbiasa, bahkan menganggapnya sudah menjadi bagian dari kehidupan kita, menghadapi pengaruh itu karena masuk secara kontinu dan masif. Aku pun tidak menampik jika pengaruh tersebut sudah menjadi hal yang biasa aku lihat karena tersebar di mana-mana, layar kaca, layar lebar, mall, dan tempat umum lainnya. Hanya saja aku tidak biasa bahkan aneh jika temanku sendirilah yang terkena pengaruh itu (catat: berpose dengan pakaian [super] minim seperti yang sudah dijelaskan di atas).

Seharusnya suatu keburukan jangan dibiasakan karena membuat keburukan itu menjadi sesuatu yang tidak buruk lagi..

0 komentar:

Posting Komentar