RSS

High School Story-[Part 4 My Teacher and I]

Tiada murid tanpa guru, begitupun sebaliknya. Mereka memiliki hubungan timbal balik dalam proses pengajaran dan ikatan layaknya orangtua dan anaknya sekaligus menjadi 'teman' yang selalu mendukung di saat suka maupun duka. Sejak aku mulai bersekolah, hubungan itu akan selalu muncul seiring dengan berjalannya waktu dan proses belajar mengajar. Tapi, aku baru menyadari dan merasakannya saat aku duduk di bangku SMP. Saat itu aku memiliki banyak guru favorit dan mereka semua menjadi sumber motivasiku, terutama guru matematika (Pak Acep), guru sejarah (Bu Yus), dan guru geografi (Bu Evie). Karena topik kali ini membahas guru-guru SMA, guru-guru favorit SMP ini aku ceritakan lebih detil di posting berikutnya. Tunggu saja.

Selama tiga tahun bersekolah di SMA, sudah banyak hal yang terjadi antara aku dan guruku. Tingkah laku dan sikap terhadap guru mulai dari kelas X sampai XII selalu mengalami perubahan. Tapi, perubahan yang ekstrem terjadi saat kelas XI. Perubahan yang sangat hebat dan guru-guru tak menyangka aku akan berubah sedrastis itu. Oke, aku mulai ceritanya dari awal.

Waktu pertama kali masuk SMAN 20, aku bertekad meneruskan harapan dan ilmu yang telah aku peroleh saat SMP, yaitu menjadi khalifah fil ardh dan rahmatan lil alamin. Itu semua karena didikan guruku dan ajaran Islam yang diajarkan saat SMP mampu menjaga moral dan sikapku dalam menghadapi dunia yang lebih luas. Hal tersebut berhasil aku lakukan pada tahun pertama SMA di kelas X-D, kelasku. Aku berhasil menuntaskan semua mata pelajaran dengan baik. Guru-guru juga akhirnya mengenalku sebagai murid yang pintar di kelasku, apalagi kelasku adalah salah satu kelas yang menjadi 'perbincangan hangat' guru-guru (konotasi negatif).

Guru favoritku waktu kelas X adalah wali kelasku yang juga guru fisika, Bu Lilya Roza. Meskipun tegas dan bersuara lantang, beliau adalah guru yang aku hormati, begitupun juga teman-temanku. Pengalaman tak terlupakan adalah saat kelasku buka puasa bareng di rumah beliau. Satu kelas berkumpul dan berbuka puasa, itu adalah satu momen kebersamaan yang sangat berharga. Aku juga akan selalu ingat bagaimana beliau marah habis-habisan sama anak-anak kelas saat ada mabal (bolos) angkatan (aku jadi ingat Bu Diden yang waktu itu keliling seluruh kelas X untuk mendata murid yang hadir). Wajar beliau marah habis-habisan karena kelas X-D adalah kelas yang paling banyak jumlah murid yang mabal! Hahaha

Ada juga guru yang menanamkan harapan kepadaku, seperti Bu Diden, guru agamaku. Kalau beliau ingin aku menjadi anak DKM dan menjadi anak yang berakhlak baik dan menjaga moral karena beliau tahu latar belakang sekolahku waktu SMP. Sekali waktu aku pernah lagi jalan bersama Diky, teman kelasku, di koridor dan bertemu dengan beliau. Kemudian beliau memuji kami sebagai anak shaleh, mekipun pada kenyataannya aku dan Diky bukanlah anak shaleh, haha. Aku juga pernah ikut pembinaan olimpiade fisika karena direkomendasikan oleh Pak Dedi (guru fisika). Selain itu aku juga pernah mengikuti LKS (Latihan Kepemimpinan Siswa) karena saran dari guru BK dan aku adalah ketua PMR.

Sebenarnya ada banyak kesan terhadap guru-guruku waktu kelas X. Mulai dari kesan yang baik, sampai kesan yang buruk. Tapi tidak mungkin kan aku menyebut secara frontal guru dengan kesan buruk itu di sini. Sesama manusia harus menjaga rahasia dan menutupi aib orang lain. Apa lagi ini adalah guru sendiri, hehe.

Baiklah, langsung saja kita bahas guru di kelas XI. Inilah masa titik balik dari kehidupanku, di mana sebuah perubahan ekstrem terjadi. Aku menjadi murid kelas IPA yang sebenarnya tak terlalu aku sukai. Awalnya aku mencoba menerima pelajaran yang tidak aku sukai itu, tapi ternyata tidak bisa. Aku mulai memberontak. Ditambah lagi dengan kondisi kelas yang sama parahnya dengan waktu kelas X (but i like this!) dan 'sindrom malas' anak kelas XI, membuatku menjadi pemberontak dan murid termalas di kelas. Di kelas inilah pertama kalinya aku mendapatkan nilai di bawah SKBM untuk pelajaran IPA dan mulai sentimen terhadap guru, terutama guru IPA.

Kalau flash back ke masa lalu, aku jadi ingat betapa kelakuanku sangat parah kepada guru-guruku. Aku pernah membentak guru BK yang mencoba menasihati perubahan tingkah lakuku, berkata kasar kepada wali kelasku yang baiknya tidak ada duanya (aku dan teman-temanku baru menyadari saat naik ke kelas XII), malas-malasan di kelas, dan pernah sekali waktu ulangan matematika, aku tak pernah mengisi sama sekali jawaban, kecuali hanya nama dan kelas saja! WOW! Gara-gara itu, ada tiga mata pelajaran IPA di dalam rapot semester pertama yang di bawah SKBM dan harus diremedial.

Tidak selamanya aku memiliki sentimen buruk terhadap guru IPA. Ada juga kenangan indah yang akan aku ingat, yaitu saat aku ulang tahun yang ke-17. Itu adalah ulang tahunku yang pertama kali dirayakan secara ramai-ramai bersama anak kelas. Aku ingat hari itu dikerjai habis-habisan oleh Bu Isnaeni, guru fisika. Beliau tahu betul aku adalah anak yang malas belajar fisika, jadi beliau menyuruhku mengerjakan sendirian soal Bab Teori Kinetik Gas yang baru dipelajari di depan kelas. Kontan saja aku kikuk, gugup, dan tidak bisa mengerjakan soal. Berkali-kali aku dikomentari oleh beliau dan disudutkan di depan kelas sendirian. Aku mulai kesal dan merasa sial betul hari itu. Sampai bel pelajaran fisika selesai, aku tidak bisa menyelesaikan soalnya dan digelandang ke ruang guru untuk menyelesaikannya. Sudah digelandang ke ruang guru, tambah tidak bisa mengerjakan. Jadi, aku minta ke beliau untuk memberi waktu dan kembali ke kelas karena jam pelajaran lain sudah dimulai. Saat kembali ke kelas itulah aku mendapatkan kejutan kue ulang tahun dari teman-temanku dan baru sadar kalau beliau baru saja mengerjai aku! Hahaha.

Guru-guru pelarianku saat dirundung masalah ini adalah guru IPS dan bahasa seperti Bu Dina (guru Pkn), Bu Endah (guru sejarah), Bu Ratni (guru bahasa Indonesia), dan Bu Lily Yuliani (guru bahasa Inggris). Merekalah yang membuatku tetap bersemangat belajar di kelas IPA. Kesan yang akan aku ingat adalah saat aku menjadi juara 2 lomba menulis artikel tentang APBN. Berkat arahan dan bimbingan dari Bu Dina dan Bu Ratni serta izin Allah swt, aku menjadi juara 2 regional Bandung untuk lomba ini.

Ada kesan khusus yang aku dapatkan dari Bu Endah dan Bu Lily. Bu Endah adalah guru sejarah yang suka bercerita dan punya wawasan luas, cara mengajarnya juga mirip dengan guru sejarah wakut SMP. Kalau Bu Lily, entah kenapa aku merasakan kewibawaannya dan keanggunan dalam bicara, meskipun banyak anak yang tidak suka dengan cara bicara dan sikap beliau.

Menjelang kenaikan kelas, aku mulai sadar kalau terus begini aku bisa-bisa tidak naik kelas. Makanya aku mulai belajar secara serius dan tekun menjelang kenaikan kelas. Aku sampai mengorbankan waktu bermain bersama anak-anak kelas yang nonton Persib di Stadion Jalak Harupat dan mendengar cerita kehebohan mereka dengan rasa iri. Akhirnya aku berhasil naik kelas juga dengan susah payah.

Akhirnya tiba juga tahun terakhir di SMA, kelas XII! Karena ini adalah tahun terakhir, aku mencoba belajar dengan tenang dan bersunggu-sungguh. Padahal kenyataannya sifat sangat malas yang sudah terjangkit dari kelas XI masih sering kambuh. Justru di tahun terakhir ini, untuk pertama kalinya aku merasakan mabal pelajaran dan kabur dari kelas. Pemantapan UN pun tidak aku ikuti dengan serius. Pernah satu kali aku dan 13 teman kelasku mabal dan malah bermain bola di lapangan waktu pelajaran matematika yang gurunya adalah wali kelasku, Pak Pujo. Tentu saja beliau marah dan menasihati kami agar tidak mengulangi perbuatan ini.

Guru favoritku saat kelas XII adalah Bu Elin, guru kimia yang bicaranya pedas, gamblang, dan tegas. Entah kenapa aku menyukainya. Mungkin karena beliau berwibawa, sama seperti aku memfavoritkan Bu Lily Yuliani. Selain itu, Pak Ade yang menjadi Wakasek Kesiswaan sekaligus guru olahraga adalah salah satu favoritku. Padahal banyak anak yang tidak begitu menyukainya karena beliau tegas dan selalu memeriksa kelengkapan dan kerapihan seragam, menegakkan peraturan sekolah, dan razia rambut, haha.

Akhirnya, semua itu kini telah menjadi kenangan. Aku telah diwisuda dan kini bukan lagi murid SMA. Kalau mengingat kembali perjalanan hidup selama SMA, ada banyak kesalahan yang aku lakukan kepada guruku dan membuat mereka repot dengan segala tingkah laku yang bandel dan susah diatur. Sebenarnya masih ada banyak cerita tentang guru-guru ini karena guru yang dibahas di sini baru sedikit saja, masih belum semuanya. Tapi, aku pikir terlalu panjang untuk menceritakannya di blog ini. Aku perlu membukukan kisah tentang guru ini jika ingin menceritakannya secara lengkap dan detil. Jadi, aku persingkat dan mengambil garis besar dan menceritakan hal-hal menonjol yang terjadi antara aku dan guruku.

Thank you my teacher :)..[Lanjut ke Part 4.2]

0 komentar:

Posting Komentar